Beberapa saat ini kita bak dibuntuti
oleh pemberitaan tentang kasus narkoba yang menjerat artis yang sejatinya
mereka tokoh sentral mungkin setiap hari bisa kita temukan kemunculannya
ditelevisi. Setiap kita pasti punya idola yang dibanggakan. Rasa senang
terhadap seseorang biasanya diawali dari seringnya melihat (pepatah: dari mata
turun kehati) pun bisa berlaku. Meniru merupakan hal alamiah yang kita lakukan
sejak bayi. Apapun yang ada disekitar baik akan membekas dan mempengaruhi alam
bawah sadar yang mempengaruhi tindakan.
Sebagai orang tua, pendidik, atau
profesi lainnya, semua kita menghendaki terciptanya suasana dan lingkungan yang
kondusif agar memberi kontribusi positif pada perkembangan anak. Namun,
gempuran tekhnologi dan kecanggihan komunikasi sudah tak terelakkan lagi. Orang
tua tidak lagi bisa membendung keinginan anak untuk melihat televisi padahal PR
nya belum dikerjakan, atau kecanduan game yang sulit dialihkan pada kegiatan
lain. Cepatnya informasi sampai kepada kita bahkan hanya dalam hitungan detik
setiap situs koran online mengupdate beritanya tanpa perlu kita menunggu pagi
hari untuk melihat berita.
Kasus beberapa hari ini membuat kita
geleng-geleng kepala, bagaimana tidak, orang yang seharusnya menjadi figur
karena intensitas kemunculannya di televisi memberi contoh negatif. Tetapi
apakah kita hanya menyalahkan, menghujat sembari sumpah serapah pada mereka
para pejabat bahkan petinggi Negeri ini? Ini mungkin menjadi sinyal isyarat
agar kita ingat bahwa setiap manusia ada potensi untuk baik dan jahat. Bisa
karena pergaulan, atau pola asuh yang kurang baik semasa kecil.
Ironis memang, panggung politik yang
ramai dengan korupsi diantaranya adalah mereka yang tergolong muda mungkin usia
35 keatas. Masa-masa yang seharusnya produktif dan memberi kontribusi nyata
untuk bangsa yang butuh pemikiran segar kaum muda. Lalu panggung hiburan yang
menyodorkan beberapa kasus kekerasan, KDRT, bahkan “barang haram” yang juga
melibatkan kaum muda. Sayang sekali padahal potensi mereka luar biasa bila pada
jalur yang benar. Ada yang berpendapat “untuk menjadi baik, seseorang biasanya
tercebur dulu dalam pekatnya lumpur barulah menemukan mutiara”. Yah, semoga
memang jadi pelajaran besar untuk mereka. Namun, generasi yang lain mari ambil
figur ini sebagai pelajaran di masa depan agar bisa menjadi yang lebih baik
tanpa berkubang dalam pekatnya lumpur.
Keluarga
adalah poros utama
Menyalahkan bukanlah sikap bijak
menyikapi masalah. Kini bukan lagi saatnya mencari rombongan kambing hitam
namun menengok kembali diri kita. Seperti saat menunjuk orang, 1 jari kedepan
tapi empat kebelakang (diri sendiri). Keluarga merupakan basis pembinaan moral
pertama. Sejak anak dilahirkan maka pembentukan akhlak nya pasti meniru dari
orang tua dan orang-orang sekitarnya. Sadar untuk memperbaiki diri adalah kunci
utama, terutama orang tua yang punya andil besar dalam memberi teladan pada
anaknya. Usia 1-2 tahun anak sudah mulai meniru (Peaget: psikologi
perkembangan), seiring perkembangannya maka apa yang dilihat, dirasakan, di
dengar semua akan terinternalisasi dalam dirinya.
Dengan bekal keteladan dalam keluarga,
maka secara tidak langsung kita telah turut mewujudkan Indonesia berkarakter
yang penuh kedamaian, keadilan yang mana merupakan cita-cita bangsa. Bayangkan
saja bila setiap orang tua menyadari hal ini maka tidak mustahil beberapa tahun
kedepan Indonesia akan di pimpin oleh mereka-mereka yang memiliki akhlak mulia.
Tidak ada lagi korupsi, narkoba, dan segala jenis kejahatan, toh walaupun ada
mungkin minoritas saja.
Kenakalan anak disebabkan beberapa
faktor, bisa faktor intern seperti kurangnya kasih sayang dalam keluarga, broken home, ayah dan ibu yang semuanya
bekerja tanpa peduli pada kebutuhan serta perkembangan anak, atau faktor kesehatan
dimana anak mengalami gangguan psikologi yang menyebabkan dia “berbeda” dengan
teman seusianya. Namun, semua ini bukan masalah yang menjadikan mereka tak
mungkin didik dengan keteladanan karena sifat awal manusia memiliki fitrah
kesucian dan menerima kebenaran. Mustahil? Tidak bila kita sungguh-sungguh,
bukan hanya mengharap teladan dari publik figur tapi figur keluarga kita
dahulukan.
0 komentar:
Posting Komentar