Memperingati
hari guru 25 November, sejak mari kita ingat sosok guru-guru yang mengajar kita
baik sekolah formal maupun non formal. Pendidikan menjadi sorotan sebagai tolak
ukur maju tidaknya suatu peradaban, ketika suatu keadaan dirasa tidak lagi
seperti lazimnya maka sosok dibalik pendidikan yang dicari, guru.
Diantara
suksesnya proyek sertifikasi, masih ada saja insan-insan mulia yang belum
merasakan bahkan mendapatkan gaji yang kecil. Memang mereka bukan PNS namun,
bukankah kewajiban mencerdaskan bangsa dalam undang-undang pun tak dikatakan
hanya kewajiban PNS kan?
Jadi
Guru Sukses, Walau Gaji Minim.
Ibu
Pamela, pemilik seluruh usaha pamela mulai dari usaha retail, SPBU, toko besi,
salon dan sebagainya. Beliau bercerita bahwa salah satu yang menjadi syarat
sebelum menikah dari suaminya adalah bu Pamela mau diajak bekerja, namun tetap
mengurus keluarga dengan baik. Juga
Ustad Sunadi berkeinginan untuk berdakwah tetapi tidak menuntut bayaran, jadi harus ada
pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kisah ini saya dengar dari beliau sendiri saat mengisi acara
Relawan dan Wirausaha di UIN Sunan Kalijaga kemarin bersama pak Heri Zudiyanto
yang juga pengusaha. Pembagian tugas ini rata, saya yang cari dunia dan pak
Sunardi cari akhirat untuk kita nikmati bersama di dunia-akhirat.
Konsep
nrimo ing pandum rupanya sudah boleh kita singkirkan. Bagaimana mau
mengajar dengan baik bila gaji pas-pasan, tugas sekolah banyak sedang rumah
tangga kacau karena penghasilan tak cukup. Para guru tak dilarang berwirausaha,
yang penting tidak melalaikan tugas utamanya untuk mengajar. Mengapa? Bila
menunggu pemerintah memberi santunan ya sampai kapan menunggu hal yang tak
pasti. Kalau PNS mungkin tidak lagi masalah, namun guru di Indonesia lebih
banyak yang swasta dari pada pegawai negeri. Maka guru harus mandiri tak boleh
hanya mengeluh.
Jadilah
pengusaha. Negeri ini kebanyakan politikus dari pada pengusaha. Indonesia
mungkin belum ada setengah persen yang jadi pengusaha dibanding negara lain
yang jauh diatas kita,”kata Pak Heri Zudiyanto saat menjadi pembicara.
Betul
memang, suguhan televisi setap harinya menayangkan perkembangan kasus-kasus
yang melingkupi elit politik, tidak salah bila kita pun berasumsi politikus di
negara ini sungguh banyak dibanding pengusaha.
Mengapa
tak coba mengusut sebab Indonesia rendah jumlah pengusaha? Ternyata lagi-lagi pendidikan
jawabannya. Pendidikan kita kurang mendukung adanya dunia usaha. Sejak TK kita
telah disuguhi berbagai pelajaran yang cukup memberatkan otak anak. Sejatinya anak kecil dibebaskan
fikirannya tetapi TK pun sudah dibebani PR dan les-les lain karena tuntutan
jenjang berikutnya yang mensyaratkan
anak harus sudah bisa baca, menguasai menghitung, menulis dan sebagainya.
Sebagai bandingan tengkolah Jepang yang begitu menghargai usia emas anak TK,
dibiarkan sambil diarahkan bakatnya mau apa tanpa harus dipaksa bisa membaca
dan berhitung.
Memang
jika memimpikan pengusaha Indonesia bermunculan, semua aspek harus turut
mendukung. Terutama pendidikan yang terasa sekali sejak anak usia sekolah
Modal
jadi pengusaha
Hal
menarik dari yang disampaikan Pak Heri, mantan walikota Yogyakarta ini. “Saya
ingin bagaimana dengan produk batik saya orang tampak gagah dan cantik, juga
dengan jilbab yang ditoko saya, wanita terbantukan untuk menutup auratnya. Modal
utama saya jualan batik bukan uang, hanya kepercayaan. Selama setahun menjadi
karyawan saya bertekad tidak ingin menjadi karyawan selamanya, karena ada jatah
menjualkan batik dengan sistem bayar dibelakang saya pun selalu membayar tepat
waktu hingga pemilik usaha menjadi yakin bahkan meminta agar saya bawa lebih”
jelas beliau. Sederhana, banyak yang berkata usaha butuh modal besar, namun
beliau membuktikan bahwa kepercayaan adalah modal utama yang selalu dipegangnya
hingga kini dan juga niat untuk bermanfaat bagi sesama. Ketika ada yang
bertanya bagaimana menghadapi pesaing, “jangan takut, yang abadi didunia ini
adalah perubahan, jadi terus berinovasi, berproses dan belajar.
Kalau
rumus dari bu Pamela hanya 3 N, Niroke, Niteni, Nambahi atau mirip rumus ATM =
Amati, Tiru, Modifikasi. Intinya siap jatuh bangun dan belajar dari pengalaman.
Guru
Usaha Apa?
Banyak
lahan yang bisa dimasuki guru, utamanya bermula dari hobi. Mungkin ada yang
suka masak, suka menjahit, merajut dan sebagainya bisa membuat sesuatu yang mungkin
sekarang dianggap remeh tapi siaa sangka kelak menjadi besar.
Manfaat
yang saya bayangkan ketika guru “sosok yang digugu lan di tiru” ini
berwirausaha, maka anak didik pun akan termotivasi. Ini strategi menambah
jumlah pengusaha Indonesia, untuk Indonesia lebih baik. Jadi tidak ada lagi
minset cita-cita jadi pegawai, jadi dokter, jadi pilot tapi cita-cita plus,
dokter plus pengusaha, guru plus pengusaha, atau pegawai plus pengusaha. Sosok
penuh arti inilah yang jadi acuan murid, guru.
0 komentar:
Posting Komentar