Hari ke-5 [29 Agustus 2014]
IKAPI
Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI), jujur saya baru buka
webnya pas membuat tulisan ini.
Sejarah singkat yang saya paste dari webnya
Ikatan
Penerbit Indonesia (Ikapi) adalah asosiasi profesi penerbit satu-satunya di
Indonesia yang menghimpun para penerbit buku dari seluruh Indonesia. Ikapi
didirikan pada tanggal 17 Mei 1950 di Jakarta. Para pelopor dan inisiator
pendirian Ikapi adalah Sutan Takdir Alisjahbana, M. Jusuf Ahmad, dan Nyonya A.
Notosoetardjo. Pendirian Ikapi didorong oleh semangat nasionalisme setelah
Indonesia merdeka tahun 1945.
Ikapi
kemudian dibentuk sebagai organisasi profesi penerbit buku berasaskan
Pancasila, gotong royong, dan kekeluarga. Atas kesepakatan para pendiri
Ikapidiangkatlah Achmad Notosoetardjo sebagai Ketua pertama Ikapi, Ny. Sutan
Takdir Alisjahbana sebagai wakil ketua, Machmoed sebagai sekretaris, M. Jusuf
Ahmad sebagai bendahara, dan John Sirie sebagai komisaris. Pada masa awal
tersebut bergabung tiga belas penerbit sesuai dengan buku yang disusun Mahbub
Djunaidi dan versi lain dari Zubaidah Isa menyebutkan jumlah empat belas
penerbit bergabung pada masa awal Ikapi tersebut. Namun, baik Mahbub maupun Zubaidah
tidak menyebutkan siapa saja penerbit yang bergabung tersebut.
Lima
tahun setelah berdiri, Ikapi mampu menghimpun 46 anggota penerbit yang sebagian
besar berdomisil di Jakarta dan sisanya di Pulau Jawa dan Sumatra. Ikapi
dipusatkan di Jakarta sebagai ibu kota negara. Dalam sejarah perkembangannya,
Medan sebagai salah satu kota basis penerbitan di Indonesia telah lebih dulu
memiliki organisasi yang menghimpun penerbit dan pedagang buku lokal sejak
1952. Organisasi itu bernama Gabungan Penerbit Medan (Gapim) dengan 40 anggota
dan 24 di antaranya adalah pedagang buku. Ikapi kemudian merangkul Gapim
melalui kunjungan ketua Ikapi ke Medan pada September 1953. Gapim bersedia
melebur ke dalam wadah Ikapi sehingga terbentuklah Ikapi Cabang Sumatra Utara pada
Oktober 1953 dengan 16 anggota sebagai cabang Ikapi pertama.
Kongres
Ikapi I diadakan pada tanggal 16-18 Maret 1954 di Jakarta. Kongres I ini
mengesahkan terbentuknya cabang-cabang Ikapi untuk wilayah Jakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Sebagai organisasi
penerbit, Ikapi juga meluncurkan majalah di bidang perbukuan bernama Suara Penerbit Nasional yang
diluncurkan pada bulan Maret 1954. Namun, majalah ini hanya bertahan enam nomor
dan selanjutnya tidak terbit lagi.
Kini
Ikapi telah berusia 63 tahun dan selama itu periode kepemimpinan terus berganti
dengan berbagai dinamikanya. Berikut ini data-data sejarah Ikapi. Sekretariat
Ikapi berada di Gedung
Ikapi, Jalan Kalipasir, No. 32, Cikini-Jakarta Pusat.
Bisa dibilang,
belum semuanya akrab dengan istilah IKAPI. Masyarakat lebih mengenal penerbit
buku dari pada kepengurusan dibelakangnya. Ini mungkin disebabkan kurangnya
sosialisasi dan himbauan dari IKAPI sendiri. Kalau melihat iklan di tivi yang
begitu gencarnya, saja suka berfikir “mengapa banyak hal baik yang kurang di
sosialisasikan lewat media itu ya?”.
Coba deh,
masyarakat kita lebih suka duduk pasif depan tivi dari pada membuka buku yang
perlu energi ekstra untuk memegang, membaca, membuka lembar perlembar. Hanya segelintir
orang yang memang punya kesadaran lebih yang peduli akan hal ini.
Peran IKAPI
tentu sangat besar dalam perbukuan. Harapannya, kedepan lebih meningkatkan
sosialisasi melalui kampus, sekolah-sekolah, masyarakat desa, ibu-ibu PKK serta
TPA-TPA di pelosok. Karena saya sendiri sedang mencoba menggiatkan santri TPA
untuk menulis, dan ternyata mereka bisa. Selama ini yang mereka kira, menulis
hanyalah aktifitas orang tertentu saja dan mereka tidak punya hak. Sosialisasi bisa
dalam banyak hal, kunjungan, bantuan buku, seminar, roadshow gemar membaca,
lomba-lomba dan gerakan lainnya sangat perlu dikenal masyarakat. Ternyata masyarakat
desa tempat saya pun mengakui kalau mereka ingin maju, hanya saja mereka tidak
tau bagaimana caranya kerena dulu tidak sekolah. inilah yang perlu kita sentuh
dengan buku dan bacaan yang bermanfaat.
Jika saya
menjadi anggota IKAPI, hal pertama adalah memberdayakan desa sendiri. Seperti mas
gola gong yang memulai rumah baca dan memberdayakan lingkungan sekitarnya. Saat
ini saya mencoba mengajukan berbagai bantuan buku dan diapresiasi oleh Diva
Press. Harapannya jika sudah terbentuk taman baca, maka anak lebih tertantang
menulis. Kasian sekali jika mereka dipaksa menulis tapi tak ada rujukan
sepertiapa menulis itu. Setelah desa saya maju lalu sosialisasi ditingkatkan
kedaerah lain sambil menularkan semangat baca-tulis, mengadakan berbagai lomba,
lalu menggalakan menulis-baca lagi. Saya punya mimpi akan ada antologi-antologi
bersama anak-anak desa yang bercerita tentang apa saja yang mereka mau dan yang
mereka mimpikan juga.
0 komentar:
Posting Komentar