Hampir
romadhon, mulai muncul beberapa pertanyaan teman-teman seputar puasa dan hukum
di dalamnya. Ada yang tanya bagaimana hukum fidyah bagi wanita hamil, bagaimana
jika keluar darah dengan ciri begini begitu, cara menghitung masa suci,
bolehkan utang puasa di bayar fidyah, bolehkah puasa romadhon yang belum
diqodho lalu bertemu puasa romadhon lagi status hukumnya bagaimana.
من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار
“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, kemudian ia meyembunyikannya, maka kelak ia akan dibungkam mulutnya dengan api neraka.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Lalu?
Menjawab bisa salah dan diam pun salah. Prinsip Islam mengajarkan seseorang
yang tidak tahu dia dihukumi tidak berdosa namun ada keharusan untuk mencari
ilmu untuk menutupi ketidaktahuannya. Sebagaimana keutamaan orang berilmu dalam
surat al Mujadalah:Lalu
siapa yang berhak menjawab? Ingatkah kita bahwa di zaman Rasulullah SAW tidak
ada batasan mencari ilmu, bukan berdasar tingkatan capaian akademik seseorang,
bukan ketinggian pangkat atau jabatan. Dimanapun seorang ulama yang terkenal
memiliki syarat diterimanya hadis seperti jujur, tsiqoh, dhobit, akan terus
diburu untuk diambil ilmunya. Contohnya Imam Bukhari yang terkenal hadisnya
shahih melalui hal yang sama dan di dahului shalat sunnah 2 rakaat setiap kali
akan menuliskan hadisnya.
Seorang
mujtahid (orang yang berijtihad) tidak sembarang. Ijtihad adalah proses
pengambilan hukum ketika dalil dari Al Qur’an, Al Hadis, Ijma dan Qiyas
hukumnya longgar, atau mungkin terjadi khilafiyah mengenai tafsirnya selama
tidak ada hukum yang kuat (wajib) yang ditetapkan Al Quran maupun al Hadis.
Bisa juga karena kondisi yang dialami sekarang berbeda dengan zaman dulu yang
diriwayatkan Nabi SAW. Syarat menjadi mujtahid pun tidak main-main, setidaknya
orang tersebut hafal Al Qur’an dan faham tafsirnya, mengerti Hadis, faham
bahasa Arab. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu:
- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah). Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat, yaitu mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, seorang mujtahid mempunyai dua
syarat yang harus dimiliki, yaitu mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan
mengetahui atau percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya juga
mukjizat-mukjizat ayat-ayat Allah.Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid
hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat: Syarat pertama, memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an, tentang Sunnah,
tentang masalah Ijma’ sebelumnya. Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih. Syarat
ketiga, menguasai ilmu bahasa.Selain itu, al-Syatibi
menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan
tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid
dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak
dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus
mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki
kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas
maqasid al-Syariah. sumber
Dengan kompetensi yang mumpuni itu maka kekhawatiran dia salah berijtihad semakin kecil karena kapabilitasnya. Oleh karena itu mujtahid yang salah mendapat pahala 1 dan jika tepat maka pahala 2. Namun hanya Allah SWT yang tahu mana benar dan mana yang salah. Ijtihad boleh beda berdasar pada hasil pembacaan ayat Qur’an, hadis, ijma, qiyas serta pendapat-pendapat sahabat, ulama-ulama hingga ulama kontemporer. Kita sebagai makhuk bebas pun boleh memilih mana yang kita yakini untuk diambil sebagai dalil. Hakim seseorang adalah hatinya, maka bila ia cenderung pada satu pendapat janganlah memakai otak/nalar tapi hati nurani berdasar dalil yang kuat. Sebuah hadis dikatakan: bila seseorang menggunakan nalar maka ia tidak
Sebagai
orang awam, kitapun berhak membaca kitab-kitab ulama dan terus memperbaiki
diri, menambah ilmu teruatama bahasa arab yang menjadi pengantar membaca kitab
asli dibanding terjemah. Tak ada batasan umur dalam belajar bahkan diharuskan
seseorang terus belajar sepanjang hidupnya. Untuk jawaban diatas saya suka
googling walaupun jangan serampangan juga dalam mengambil pendapat. Carilah
website yang diasuh oleh ulama-ulama yang memang kompeten secara keilmuan
diakui. Baiknya lagi jika mampu maka datangi kediaman ulama tersebut untuk
menimba ilmu langsung. Karena keterbatasan sebagai manusia hendaknya berucap
Wallahu a’lam bisshowab karena Allah lah hakim yang seadil-adilnya.
Tanjungan, 1 Romadhon 1436 H
0 komentar:
Posting Komentar