Beberapa
waktu kemarin saya silaturahmi ke pondok Taruna Al Qur’an Putri.
Hajatnya sih simple, cuma titip kado buat adek kelas yang akan menikah karena
minggunya tidak bisa berangkat. Selalu deh, setiap akan melangkah ke “rumah
pertama” ini pasti deg-degan ampun kayak mau bertemu siapanya gitu. “Rumah
Pertama” adalah tempat saya dan teman-teman di tempa hidup dunia-akhirat (dalem
banget bahasanya) hehe.
Taruna yang sekarang berkembang jauh dari Taruna yang dulu kami tempati. Masih teringat jelas bagaimana saya akhirnya menentukan diri harus mondok dan menghabiskan waktu SMP-SMA di sini. Pilihan untuk mondok hingga saat ini masih banyak di pertanyakan orang. “Kenapa sih mbak kok sadar saat itu harus mondok? Milih Taruna pengen jadi Hafidzhoh ya mbak? Heh.. Malu saya kalau di tanya alasan itu lagi. Pernah saya jawab di blog ini sebelumnya bahwa hanya satu alasan utama tanpa embel-embel cita-cita lainnya yaitu phobia boso Jowo. Aneh, tapi itulah sikon saat itu saya adalah siswa pindahan akibat konflik Poso yang berkepanjangan, konon kata teman-teman di sana hingga saat ini masih saja konflik itu berlanjut.
Menata
Niat
Telatnya
saya adalah tidak sedari awal mondok sadar akan kewajiban mengapa berkerudung,
mengapa harus belajar ilmu agama setelah seharian sekolah, mengapa kita kudu
mati-matian menghafal Al Qur’an, mengapa oh mengapa. Saat itu orang tua pun
bingung mencarikan dimana sekolah SMP yang tak ada materi bahasa Jawa yang
mustahil ditemukan. Atas petunjuk Allah melalui seorang tukang kayu (saat ini
telah menjadi seorang pemimpin aliran tertentu) akhirnya di tunjukkan lah ke
Taruna.
Pemirsa pasti tau dong artis Terry Putri, nama dia saja cuplik karena sejenak saya kagum dengan keputusannya berhijab. Tau kan ya bagaimana style dia sebelum berkerudung? Kebetulan saya suka gosip jadi cukup updet masalah ini, niatnya mau ambil ibroh tapi eh mudharatnya lebih banyak. Saat diberondong dengan berbagai pertanyaan kenapa berhijab? Apa tidak takut rezeki setelah menutup aurat? Satu jawaban dia: “Kita mah jadi manusia taat dulu, masalah rezeki, tenar, itu bonus aja dari ketaatan bukan tujuan. Nah lo, saya pun ikut memakai “rumus” mbak ini dalam melihat pengalaman saya merasakan mondok. Saat mondok memang tidak ada niat khusus namun alhamdulillah banyak hal saya dapatkan, 1. The Real Life, Pengalaman hidup dari bawah 2. Be a leader, pemimpin buat diri sendiri dan untuk umat (santri lain, hehe) 3. Menghafal Al Qur’an (sampai saat ini masih megap-megap kewalahan) 4. Mengerti ilmu agama (walau belum sampai tahap paham sih) dan lain-lain.
kamar santri tempo dulu |
- The real life
Lulus
SD umum yang suka pakai celana dan kaos pendek, rambut suka di kucir tiap
sekolah lalu tiba-tiba harus berkerudung rapet. Umur segitu sudah harus menata
hidup sendiri, piket, masak mulai dari 'mecel' (memecah) kayu menjemur hingga
masak dengan kondisi seadanya, nyuci di kali yang tiba-tiba bisa banjir kalau
di merapi sono hujan. Nyetrika pakai areng dan harus pesan ke piket masak,
makan yang cuma seadanya racikan sendiri, kadang ayam disuwir hingga tak
terlihat wujudnya, menyaksikan terong berenang-berenang di baskom. Antri mandi
berjam-jam walaupun bangun jam 4. Piket yang kadang luasnya bikin pegel
pinggang dan lainnya lagi keluhan yang dirindukan saat ini.
Kubah Masjid TA yang masih exis |
- Be a leader
Alhamdulillah
pernah “tak sengaja” jadi leader buat seluruh santri. Tak punya pengalaman,
kedudukan, pangkat namun di uji dengan pahit manisnya jadi leader. Tak
sepenuhnya sukses namun pembelajaran mendalam hingga saat ini terus membekas
dan tak hilang
- Menghafal Al Qur’an
Kurikulum
utama adalah tahfidz, mau tidak mau suka tidak suka ya harus menghafal. Itulah
mengapa kalau ditanya bagaimana cara menghafal atau teman-teman curhat sulitnya
menghafal atau parahnya memuji2 maka Cuma bisa dijawab: “Wajar, kalau kamu mondok
seperti saya pun pasti bisa lebih banyak dari yang saya dapat". Kami benar-benar
di gembleng dan itu di dukung oleh lingkungan (semua wajib menghafal). Ada
konsekuensi bila tak sampai target minimal 2 juz yaitu tinggal kelas. Siapa jal
yang mau, kalau kalian di posisiku saat itu pasti melakukan hal yang sama.
Itulah yang saya sesalkan kenapa dulu tak serius dan menganggap ini kewajiban.
Nyeselnya sekarang
Ke
kelas ada yang menghafal, ke kantin, ke halaman bahkan ke kali pun ada yang
cari keheningan untuk meluluskan niat menghafal. Bu Umar pernah berkata:
“Kalau di Pondok jadi baik, tetap bagus ngaji dan ibadahnya itu wajar karena lingkungan mendukung. Tapi kalau setelah hidup di luar pondok bahkan bisa lebih baik di banding pencapaian saat itu nah itulah justru yang hebat”.
So its
not because i’m a wonderful woman, its just work, trust me.. hehe
- Diajari ilmu agama
Kerasa
banget seletalah di luar begini, kalau dulu kan mengandalkan ada pengajar yang
nanti ngajar tentang ilmu nahwu, shorof, tarjim, imla-khot, usul fiqh, fiqh,
ulumul hadis, serta pembahasan kitab2 akhlak dan lainnya. Sayangnya dulu itu
gak serius, kalau yang ngajar ustadz dan pakai tabir sering ditinggal
tidur(penyakit santri, kenapa mata jadi berat banget alasan padet jadwal).
Pada
intinya menata niat atau rechange niat tuh jadi penting. Bagi saya,
indikator kesuksesan sebuah kegiatan adalah niat. Sukses tidaknya, tercapai
atau tersendatnya sesuatu bermula dan dinilai dari niat. Hebatnya lagi niatlah
yang membedakan amalan menjadi pahala atau sia-sia (Hadis Niat, riyadhus
solihin no.1). setidaknya rechange niat kita dalam melakukan sesuatu andaikata
saat melakukannya kita lalai menata niat. Kembali lagi itu mah niat untuk full
ibadah, niat untuk memperdalam Islam sebagaimana kewajiban yang seharusnya.
Plus-plus diatas mah bonus dari Allah SWT, kata mbak Terry.
0 komentar:
Posting Komentar