Lanjutan
dari postingan sebelumnya, kunjungan saat itu ke Taruna membuat dada kembali
berdesir. Terlebih ketemu Nofi, pathner saya yang suka menanggung malu
akibat kebiasaan saya yang suka berhutang, just you and i understand it.
Duduk
di pelataran kantor kami tertegun menyaksikan Taruna masa kini jauh dari
bayangan akan seindah ini. Hilir-mudik santri yang ke kelas dua lantai,
perpustakaan yang full buku baru dan terawat, tengok ke belakang ada ruang
makan khusus dengan kursi (kami dulu ngeleseh dimana-mana dengan nampan isi 3-5
orang), ada mesin cuci khusus pengering bagi santri, masak dengan gas dan
dibantu Ibu dapur, serta fasilitas lainnya yang jauh dari kami para pendahulu
(tua banget ya). Poinnya bukan di fasilitas itu.
Mushola plus ruang belajar |
klo Mushola rame, sy milih belajar disini smp pindh tidur juga *msh eksis ini |
Berdasarkan hasil obrolan dengan
bu Baroroh (kepsek MTs-Aliyah) nilai UN dan UAMBN anak-anak ini meningkat tiap
tahunnya melampaui sekolah-sekolah negri yang lebih bonafid dan lebih dulu
berdiri. Hasil tahfidzpun mengejutkan, mulai tahun ini target yang ditetapkan
minimal 5 juz pertahun sehingga diharapkan anak pulang membawa 30 juz. Amazing,
mereka mampu bahkan beberapa sudah hatam 30 juz di kelas 3 Aliyah dan kelas di
bawahnya. Setelah UN pun anak-anak di khususkan murojaah atau mencapai target
bagi yang belum.
Ini
yang oke saya bilang, fasilitas Ok tapi prestasi Ok. Bu Baroroh bilang “Jamanmu
kae yo apik kok (Zaman kamu dulu juga bagus kok)” tahun ini kita menolak hampir
200 anak dengan sekolah yang putra, (kelas saya dulu 80 orang pas kelas 1 eh
sisa 19 orang di kelas 6, seleksi alam). Saya jawab, “Bayangkan bu, mau UN kami
belajar hanya kumpulan soal tidak ada buku paket apalagi teknologi, harus tetap
jaga malam dan piket”. UN pun numpang karena sekolah kami dalam tahap
perintisan. Benar-benar saat itu hanya kekuatan doa yang berlaku karena secara
kelengkapan alat tempur kami kurang. Bu Baroroh bilang “Masa kalian masa
perjuangan, mungkin ini hasilnya dari pahitnya perjuangan”. Tapi si Nofi
bilang, “beda ning, tahan banting dan akhlaknya beda”. Haha.. tiap zaman ada
emasnya sendiri-sendiri.
Intinya,
suatu pembelajaran memanglah harus didukung oleh fasilitas memadai, SDM
berkualitas dan sinergi. Utamanya lagi harus ada point plusnya, kalau hanya UN
tertinggi saja udah biasa, tapi tambah istimewa jika hafidzoh pula. Mungkin bisa jadi inspirasi bagi yang lain, adek-adek yg habis UN lalu di "asingkan" di suatu tempat untuk menghafal selama menunggu pengumuman. Keren kan, daripada galau mengguita lebih baik kejar setoran :D
Good job
buat adek-adekku sekarang, we proud all of you.
0 komentar:
Posting Komentar