19 April 2011

Meneguhkan Identitas Budaya Nasional

di 21.15

Meneguhkan Identitas Budaya Nasional
Oleh: Drs. Joko Widodo, M.Si.
(Pembantu Rektor III Universitas Muhammadiyah Malang)
Gonjang-ganjing  dan saling klaim budaya antara Indonesia dan Malaysia telah reda. Hal itu tidak berarti untuk seterusnya. Ledakan-ledakan kemarahan dan emosional masih berpotensi muncul setiap saat. Konsekuensi sebagai bangsa serumpun, bertetangga dekat  dan perbedaan-perbedaan yang mulai terlihat dan terasa. Khususnya, perbedaan yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi dan pembangunan SDM.
       Indonesia adalah negara besar.  Negara dengan pulau terbanyak di dunia (17.504), lebih dari 740 suku bangsa, serta tidak kurang dari 583 bahasa daerah dengan 67 bahasa induk. Jumlah penduduk Indonesia menurut BPS pada tahun 2009 ini berjumlah 231 juta. Melihat data tersebut sebenarnya kurang beralasan kalau harus cemburu  dan bereaksi secara berlebihan terhadap klaim budaya negara lain. Lebih-lebih dengan kematangan, kedewasaan serta warisan tak ternilai yang telah diberikan pemuda Indonesia pada 1928 silam.
        Dengan ”Sumpah Pemuda”nya pada 81 (delapan puluh satu) tahun yang lalu, dengan segenap kepercayaan diri yang tebal, keberanian yang menyala-nyala di bawah tekanan penjajah, serta di balik kondisi heteroginitas suku, budaya, golongan, aspirasi politik, dan agama, mereka tanpa ragu-ragu menyuarakan satu tekad: bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tanpa kesadaran yang kuat, kepercayaan diri, kebersamaan serta kerelaan menepiskan kepentingan pribadi dan golongan, maka peristiwa itu tidak akan pernah terwujud. Dan itu merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya.
       Rasa cemburu yang muncul dalam berbagai bentuk seperti marah, mudah tersinggung, sampai dengan tindakan-tindakan reaktif lainnya, biasanya dapat diakibatkan oleh dua hal. Pertama adalah karena rasa cinta/ sayang yang berlebihan sehingga memunculkan takut kehilangan atau pun direbut orang lain. Rasa cinta itu merupakan modal positif asal disertai dengan usaha-usaha pemeliharaan dan pengembangan, sehingga secara kualitas akan semakin meningkat. Kedua adalah karena rasa ketidakpercayaan diri, keterbatasan, ketidakmajuan, serta berbagai kelemahan dan ketidakberdayaan dibanding dengan kompetitor. Cemburu dalam konteks budaya sebenarnya juga perlu asal dilatari rasa cinta, telah melakukan pemeliharaan terhadap warisan budaya (national heritage), penanaman nilai-nilai, serta berbagai kegiatan konstruktif lainnya. Ketidakpercayaan diri serta berbagai perasaan sejenis yang muncul karena melihat kelebihan-kelebihan kompetitor, tidak perlu memunculkan sikap yang sangat reaktif, apalagi anarkhis. Lebih-lebih apabila telah menyadari demkian banyak kebanggan nasional yang telah dimiliki bangsa Indonesia.


Budaya Nasional
       Salah satu kebanggaan nasional (national pride), adalah bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagaimana telah dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 81 tahun yang lalu. Kebudayaan Indonesia adalah seluruh kebudayaan lokal dari seluruh ragam suku-suku di Indonesia. UUD 1945 telah menjelaskan bahwa kebudayaan nasional adalah 1) buah usaha budi rakyat Indonesia, 2) kebudayaan lama dan asli di daerah, serta 3) kebudayaan yang bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru. Merujuk kembali kebesaran Negara Indonesia sebagaimana di atas, sanggupkah menghitung, mengetahui dan sudah merasa memiliki berbagai budaya dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia?
       Indonesia memiliki berbagai unsur kebudayaan yang unik dan khas yang bersumber dari heteroginitas bangsa. Tujuh unsur kebudayaan  sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat, adalah sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem Ilmu pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem sarana kehidupan, sistem teknologi.  Dengan demikian dapat dilihat, bahwa tari “Pendet”, “Reyog”, lagu “Rasa Sayange” adalah sebagian kecil  (kesenian) dari harta kebudayaan Indonesia, bak butir-butir pasir di laut budaya yang luas. Sudahkah sebagai anak bangsa telah melakukan upaya-upaya menghormati dan merasa memiliki kekayaan budaya daerah/ suku lain sebagai bagian dan keseluruhan budaya bangsa Indonesia? Melakukan pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan? Tetapi sebanyak apapun jika tidak ada kepedulian, kepemilikan, serta kebanggaan, juga akan hilang sebagaimana buih-buih dilautan.
Globalisasi dan Perawatan Budaya Nasional
       Era globalisasi yang ditandai oleh adanya saling kebergantungan (interdependence) antarnegara. Hal ini suatu hal yang tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi dari semakin longgarnya batas negara. Dunia menjadi tanpa batas (borderless), yang ditandai dengan tidak terhambatnya arus orang, barang dan jasa. Globalisasi juga ditandai dengan semakin bebasnya arus informasi dan komunikasi menembus batas-batas teritorial negara, membawa pengaruh dalam berbagai bidang. Komunikasi dan interaksi yang tidak dapat dibatasi oleh batas geografis dan teritorial, memungkinkan terjadinya interaksi dan keterpengaruhan.Termasuk di dalamnya adalah pola kepribadian, gaya hidup, dan kesenian. Semakin lemah suatu negara maka akan semakin besar dia terpengaruh dan bergantung. Sikap pragmatis, individualis, materialis dan hedonis merupakan hal-hal yang terbawa juga dan berpengaruh pada masyarakat.
        Saling pengaruh adalah proses yang wajar namun menjadi catatan tersendiri jika daya tahan rapuh. Internalisasi nilai-nilai yang terbentuk bertahun-tahun  yang membentuk budaya, akan tergerogoti oleh nilai-nilai luar karena tidak adanya komitmen kuat. Akhirnya, kebudayaan yang terbentuk melalui proses panjang, terus menerus dan dimulai dari kebiasaan-kebiasaan serta dari satuan-satuan kecil (individu, kelompok) sampai kepada satuan yang besar (suku, bangsa), akan hilang dan tergantikan oleh budaya luar secara pelan-pelan tapi pasti.
       Arus budaya global dengan segala plus dan minusnya, merupakan tantangan besar bagi penataan nilai-nilai budaya dan watak bangsa (nation and character building). Hal ini merupakan persoalan serius, jika tidak ingin kehilangan nilai-nilai dan budaya adi luhung yang sudah terbentuk berabad-abad. Peningkatan daya tahan dan komitmen harus dilakukan secara sistematis, terintegrasi dan holistik. Tidak hanya lewat jalur pendidikan, tetapi juga non pendidikan. Formal dan informal. Antardepartemen dan lintas departemen.
     Sudah saatnya antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbubpar) lebih meningkatkan kinerja dan kerja samanya dalam memelihara, merawat dan mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan bukan semata-mata kesenian. Kesenian hanyalah sub sistem kebudayaan. Di dalamnya terdapat pengendapan tata nilai, penggalian, pelestarian dan pengembangan sehingga kebudayaan sebagai identitas nasional tetap eksis. Di situlah peran Depdiknas yang dahulu merupakan satu kesatuan dengan kebudayaan ketika masih bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Departemen P dan K).
       Pendidikan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan manusia-manusia cerdas dan siap berkompetisi secaram global. Melahirkan generasi yang berkepribadian kuat, kepemimpinan yang tangguh serta merawat, mengembangkan dan mengawal identitas budaya nasional juga merupakan suatu keharusan. Apalagi di tengah-tengah gencarnya serbuan dan arus bandang budaya asing yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa. Juga di saat kondisi bangsa yang sedang mengalami berbagai dekadensi akibat faktor internal maupun eksternal.
      Diperlukan strategi budaya untuk menangkal dan memfilter produk budaya asing yang tidak sesuai. Penanaman nilai-nilai keindonesiaan melalui jalur pendidikan serta pelibatan masyarakat secara luas adalah salah satu solusinya. Penanaman kebanggaan, inventarisasi, sosialisasi dan saling tukar apresiasi produk-produk budaya etnik yang beraneka ragam, sangat penting untuk menumbuhkan kepemilikan dan kebersamaan. Alangkah indahnya jika saudara-saudara  di Papua dapat menikmati pertunjukan Ketoprak, senang makan gudeg, menikmati ronda malam dan kerja bakti di Jogyakarta. Atau rekan-rekan Jawa yang menikmati dan fasih, ketika mendendangkan “Apuse”, “Butet”, gemar makan bubur Manado, serta menemukan keasyikan ketika ikut tradisi “bakar batu”. Diperlukan langkah-langkah nyata, terpadu, dan terus-menerus agar terbentuk mental, kepribadian dan kemauan kuat untuk merawat dan mengawal identitas budaya nasional. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga segenap anak bangsa. Dan dimulai dari diri sendiri, lingkungan terkecil, dan akhirnya keseluruhan.  (Ditulis pada jurnal Ilmiah Bestari edisiseptember-Desember 2009 No.42/Th.XXII).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lima Belas Menit Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review