7 Februari 2013

Satu Jari Ke Depan Empat ke Belakang

di 19.10
          Beberapa saat ini kita bak dibuntuti oleh pemberitaan tentang kasus narkoba yang menjerat artis yang sejatinya mereka tokoh sentral mungkin setiap hari bisa kita temukan kemunculannya ditelevisi. Setiap kita pasti punya idola yang dibanggakan. Rasa senang terhadap seseorang biasanya diawali dari seringnya melihat (pepatah: dari mata turun kehati) pun bisa berlaku. Meniru merupakan hal alamiah yang kita lakukan sejak bayi. Apapun yang ada disekitar baik akan membekas dan mempengaruhi alam bawah sadar yang mempengaruhi tindakan.
Sebagai orang tua, pendidik, atau profesi lainnya, semua kita menghendaki terciptanya suasana dan lingkungan yang kondusif agar memberi kontribusi positif pada perkembangan anak. Namun, gempuran tekhnologi dan kecanggihan komunikasi sudah tak terelakkan lagi. Orang tua tidak lagi bisa membendung keinginan anak untuk melihat televisi padahal PR nya belum dikerjakan, atau kecanduan game yang sulit dialihkan pada kegiatan lain. Cepatnya informasi sampai kepada kita bahkan hanya dalam hitungan detik setiap situs koran online mengupdate beritanya tanpa perlu kita menunggu pagi hari untuk melihat berita.
Kasus beberapa hari ini membuat kita geleng-geleng kepala, bagaimana tidak, orang yang seharusnya menjadi figur karena intensitas kemunculannya di televisi memberi contoh negatif. Tetapi apakah kita hanya menyalahkan, menghujat sembari sumpah serapah pada mereka para pejabat bahkan petinggi Negeri ini? Ini mungkin menjadi sinyal isyarat agar kita ingat bahwa setiap manusia ada potensi untuk baik dan jahat. Bisa karena pergaulan, atau pola asuh yang kurang baik semasa kecil. 
Ironis memang, panggung politik yang ramai dengan korupsi diantaranya adalah mereka yang tergolong muda mungkin usia 35 keatas. Masa-masa yang seharusnya produktif dan memberi kontribusi nyata untuk bangsa yang butuh pemikiran segar kaum muda. Lalu panggung hiburan yang menyodorkan beberapa kasus kekerasan, KDRT, bahkan “barang haram” yang juga melibatkan kaum muda. Sayang sekali padahal potensi mereka luar biasa bila pada jalur yang benar. Ada yang berpendapat “untuk menjadi baik, seseorang biasanya tercebur dulu dalam pekatnya lumpur barulah menemukan mutiara”. Yah, semoga memang jadi pelajaran besar untuk mereka. Namun, generasi yang lain mari ambil figur ini sebagai pelajaran di masa depan agar bisa menjadi yang lebih baik tanpa berkubang dalam pekatnya lumpur.
Keluarga adalah poros utama
Menyalahkan bukanlah sikap bijak menyikapi masalah. Kini bukan lagi saatnya mencari rombongan kambing hitam namun menengok kembali diri kita. Seperti saat menunjuk orang, 1 jari kedepan tapi empat kebelakang (diri sendiri). Keluarga merupakan basis pembinaan moral pertama. Sejak anak dilahirkan maka pembentukan akhlak nya pasti meniru dari orang tua dan orang-orang sekitarnya. Sadar untuk memperbaiki diri adalah kunci utama, terutama orang tua yang punya andil besar dalam memberi teladan pada anaknya. Usia 1-2 tahun anak sudah mulai meniru (Peaget: psikologi perkembangan), seiring perkembangannya maka apa yang dilihat, dirasakan, di dengar semua akan terinternalisasi dalam dirinya.
Dengan bekal keteladan dalam keluarga, maka secara tidak langsung kita telah turut mewujudkan Indonesia berkarakter yang penuh kedamaian, keadilan yang mana merupakan cita-cita bangsa. Bayangkan saja bila setiap orang tua menyadari hal ini maka tidak mustahil beberapa tahun kedepan Indonesia akan di pimpin oleh mereka-mereka yang memiliki akhlak mulia. Tidak ada lagi korupsi, narkoba, dan segala jenis kejahatan, toh walaupun ada mungkin minoritas saja.
Kenakalan anak disebabkan beberapa faktor, bisa faktor intern seperti kurangnya kasih sayang dalam keluarga, broken home, ayah dan ibu yang semuanya bekerja tanpa peduli pada kebutuhan serta perkembangan anak, atau faktor kesehatan dimana anak mengalami gangguan psikologi yang menyebabkan dia “berbeda” dengan teman seusianya. Namun, semua ini bukan masalah yang menjadikan mereka tak mungkin didik dengan keteladanan karena sifat awal manusia memiliki fitrah kesucian dan menerima kebenaran. Mustahil? Tidak bila kita sungguh-sungguh, bukan hanya mengharap teladan dari publik figur tapi figur keluarga kita dahulukan. 


0 komentar:

Posting Komentar

 

Lima Belas Menit Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review