18 Juni 2015

Saat bingung mengambil hukum

di 01.00
Hampir romadhon, mulai muncul beberapa pertanyaan teman-teman seputar puasa dan hukum di dalamnya. Ada yang tanya bagaimana hukum fidyah bagi wanita hamil, bagaimana jika keluar darah dengan ciri begini begitu, cara menghitung masa suci, bolehkan utang puasa di bayar fidyah, bolehkah puasa romadhon yang belum diqodho lalu bertemu puasa romadhon lagi status hukumnya bagaimana.

Jujur, saya bukan ahli ilmu agama yang mampu memberi kepastian hukum. Bukan pula ulama yang pandai membaca membaca kitab dan mengolah dalil. Bukan juga lulusan dari Konsentrasi Qur’an Hadist. Tapi dari pertanyaan-pertanyaan itu saya belajar menjawab semampunya. Jikapun memang terlalu beresiko maka saya bilang, ustad A, B hingga Z berpendapat begini, dalil yang dipakai ini, derajatnya ini.
Sebaiknya memang jika tidak tahu atau ragu sebaikanya minta mereka tanya pada Ustadz yang lebih terpercaya. Tapi bagaimana jika mereka mendesak untuk diberi jawaban. Cara saya yaitu menyandarkan pada mereka yang lebih ahli seperti syekh utsaimain, syaikh bin baz, atau ulama-ulama Indonesia sendiri seperti Aagym, Ustadz Miftah, dan lainnya. Mengapa? Karena mereka yang paham dalil dan tingkat kesholehannya lebih baik karena hidupnya selalu berkaitan dengan buku dan kitab.
Kalaupun ada hadist yang saya tahu atau kitab yang membahas maka sampaikan sebisa kita diterima ataupun tidak oleh penanya. Kewajiban seorang muslim adalah menebarkan ilmu walau satu ayat, namun kehati-hatian pun perlu jadi pijakan. Namun lantas jangan menjadikan kita sebagai orang yang menyembunyikan kebenaran. Ancaman bagi mereka yang tidak menebarkan ilmu pun ada, seperti hadis:Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, kemudian ia meyembunyikannya, maka kelak ia akan dibungkam mulutnya dengan api neraka.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Lalu? Menjawab bisa salah dan diam pun salah. Prinsip Islam mengajarkan seseorang yang tidak tahu dia dihukumi tidak berdosa namun ada keharusan untuk mencari ilmu untuk menutupi ketidaktahuannya. Sebagaimana keutamaan orang berilmu dalam surat al Mujadalah:Lalu siapa yang berhak menjawab? Ingatkah kita bahwa di zaman Rasulullah SAW tidak ada batasan mencari ilmu, bukan berdasar tingkatan capaian akademik seseorang, bukan ketinggian pangkat atau jabatan. Dimanapun seorang ulama yang terkenal memiliki syarat diterimanya hadis seperti jujur, tsiqoh, dhobit, akan terus diburu untuk diambil ilmunya. Contohnya Imam Bukhari yang terkenal hadisnya shahih melalui hal yang sama dan di dahului shalat sunnah 2 rakaat setiap kali akan menuliskan hadisnya.
Seorang mujtahid (orang yang berijtihad) tidak sembarang. Ijtihad adalah proses pengambilan hukum ketika dalil dari Al Qur’an, Al Hadis, Ijma dan Qiyas hukumnya longgar, atau mungkin terjadi khilafiyah mengenai tafsirnya selama tidak ada hukum yang kuat (wajib) yang ditetapkan Al Quran maupun al Hadis. Bisa juga karena kondisi yang dialami sekarang berbeda dengan zaman dulu yang diriwayatkan Nabi SAW. Syarat menjadi mujtahid pun tidak main-main, setidaknya orang tersebut hafal Al Qur’an dan faham tafsirnya, mengerti Hadis, faham bahasa Arab. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu:
  • Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
  • Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah). Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat, yaitu mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, seorang mujtahid mempunyai dua syarat yang harus dimiliki, yaitu mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui atau percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat Allah.Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat: Syarat pertama, memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an, tentang Sunnah, tentang masalah Ijma’ sebelumnya. Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih. Syarat ketiga, menguasai ilmu bahasa.Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah. sumber

Dengan kompetensi yang mumpuni itu maka kekhawatiran dia salah berijtihad semakin kecil karena kapabilitasnya. Oleh karena itu mujtahid yang salah mendapat pahala 1 dan jika tepat maka pahala 2. Namun hanya Allah SWT yang tahu mana benar dan mana yang salah. Ijtihad boleh beda berdasar pada hasil pembacaan ayat Qur’an, hadis, ijma, qiyas serta pendapat-pendapat sahabat, ulama-ulama hingga ulama kontemporer. Kita sebagai makhuk bebas pun boleh memilih mana yang kita yakini untuk diambil sebagai dalil. Hakim seseorang adalah hatinya, maka bila ia cenderung pada satu pendapat janganlah memakai otak/nalar tapi hati nurani berdasar dalil yang kuat. Sebuah hadis dikatakan: bila seseorang menggunakan nalar maka ia tidak
Sebagai orang awam, kitapun berhak membaca kitab-kitab ulama dan terus memperbaiki diri, menambah ilmu teruatama bahasa arab yang menjadi pengantar membaca kitab asli dibanding terjemah. Tak ada batasan umur dalam belajar bahkan diharuskan seseorang terus belajar sepanjang hidupnya. Untuk jawaban diatas saya suka googling walaupun jangan serampangan juga dalam mengambil pendapat. Carilah website yang diasuh oleh ulama-ulama yang memang kompeten secara keilmuan diakui. Baiknya lagi jika mampu maka datangi kediaman ulama tersebut untuk menimba ilmu langsung. Karena keterbatasan sebagai manusia hendaknya berucap Wallahu a’lam bisshowab karena Allah lah hakim yang seadil-adilnya. 
Tanjungan, 1 Romadhon 1436 H

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lima Belas Menit Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review