19 Februari 2014

Salak Pondoh, Dari Sleman Untuk Dunia

di 12.38
google.com

Jika ada Apel Fuji, Jeruk Mandarin, Pir dan buah impor terkenal lainnya dipasaran berdampingan dengan jeruk lokal, apel malang, atau bahkan salak, manakah yang akan kita beli? Sesuai hukum ekonomi jual beli pasti orang akan senang membeli barang yang bagus (kemasan dan bentuk) dengan harga murah dari pada membeli harga yang sama untuk barang yang biasa. Ya, pesona buah impor memang tak tertandingi, dengan kemasan menarik, segar dan kesan “fresh” yang diberikan supermaket menjadikan masyarakat cenderung menyukai buah impor dari pada lokal.


Tahun 2012 kemarin khalayak sempat dikagetkan dengan penemuan buah impor yang mengandung residu bahkan pengawet mayat pada buah-buah impor dari China, Thailand, Amerika, New Zealand, dan beberapa negara lainnya. Buah lokal yang dipelihara tanpa pestisidan dan hanya menggunakan pupuk kandang memanglah kurang menarik namun rasa dan kualitasnya sebenarnya lebih tinggi dari buah impor.


Di Indonesia sendiri khususnya di daerah Tempel Sleman dan kabupaten Sleman sekitarnya berpotensi luar biasa, di dukung dengan hawa sejuk, dekat dengan merap menghasilkan buah bernama salak pondoh. Komoditi salak adalah potensi yang terkalahkan dengan daerah manapun. Kekhasan salak pondoh hanya ada di Tempel Sleman adalah suatu anugerah bagi masyakarat disana. Salak akan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dlm bulan basah. Berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yg tinggi. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50-70%, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh.Suhu yg paling baik antara 20-30°C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi, tetapi tidak tahan genangan air.


Olahan salakpun kini beragam tidak hanya dijual dalam bentuk buah namun sudah dikreasikan menjadi dodol salak, manisan salak, kripik salak, dan aneka makanan lainnya. Bahkan area perkebunan salak dijadikan tempat wisata seperti di Dusun Trumpon, Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman. Desa wisata Trumpon merupakan desa wisata dengan dengan obyek agrowisata yaitu perkebunan salak pondoh.
Masalah yang kerap dialami masyarakat adalah ketika menghadapi musim panen harga salak bisa anjlok sangat murah. Teman saya yang tinggal di daerah Tempel sering sekali menawarkan untuk membelikan salak, dengan harga Rp.1500,- bahkan untuk 1 kg salak pondoh. Teman tersebut juga banyak bercerita tentang usaha perkebunan salak orang tuanya, disaat panen besar maka petani banyak merugi diakibatkan harga salak yang terus anjlok. Di pasar pun demikian, harga normal Rp. 4000,- bisa hanya menjadi Rp. 2.500,- saat musim salak tiba dan ini harus dicari solusinya. Karena semua petani pasti menginginkan keuntungan dan tidak ingin merugi.


Ternyata pengolahan salak belum menyentuh seluruh elemen masyarakat, edukasi yang diberikan pemerintah seharusnya lebih ditingkatkan agar tidak ada lagi keluhan yang sejak lama tidak ditemukan solusinya.
Peran pemerintah untuk memperluas pemasaran juga dibutuhkan agar tidak lagi ada mempersulit izin untuk ekspor. Dan yang lebih penting edukasi agar masyarakat Indonesia mencintai buah lokal mutlak perlu digencarkan. Dengan adanya menteri perdagangan yang baru harapannya buah lokal seperti salak ini semakin meluas pemasarannya tidak hanya cina, Singapura, Hongkong, Amerika serikat tetapi seluruh dunia dapat mengenal kelezatan salak pondoh.
        -Harjo- (dan baru sadar emailnya tidak terkirim -_-)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lima Belas Menit Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review